Wednesday, May 8, 2013

CERPEN

Setelah lama nggak buat cerpen, guru bahasa indonesiaku ngasih tugas buat cerpen berdasarkan pengalaman pribadi. Dengan berat hati, aku tulis cerpen singkat berdasarkan salah satu pengalaman pribadiku. ini dia cerpenku..


Sang Motivator


Aku suka sama dia. Aku tau betul fakta itu. Aku tau aku suka sama dia, kagum dengan kepintarannya, senang saat aku bisa sama-sama dia, tersenyum nyaris seperti orang gila cuman karena dia duduk disampingku. Cowok itu Mario Ahmad Fauzi, anak kelas sebelah yang pintar banget. Masuk 10 umum sewaktu kenaikan kelas dulu. Kenapa aku bisa suka sama dia? Sebenarnya itu pertanyaan bodoh kalau melihat aku yang sewaktu kelas 8 masuk di organisasi yang sama dengan dia, satu divisi pula, kalau melihat aku yang hanya untuk bisa menyamainya rela belajar mati-matian di semester akhir SMPku.
Aku dan Mario menekuni pelajaran yang sama, yaitu matematika. Kami beberapa kali harus menjadi rival karena itu. Tapi sekeras apapun aku mencoba, aku tetap tidak bisa menyamainya, tidak pernah sekalipun. Karena itu awalnya aku sangat iri dengannya, aku benci ketika dia bisa lebih unggul dari ku. Tanpa aku sadari, aku belajar dengan tekun karenanya. Ya, dia motivasiku sehingga aku bisa seperti sekarang ini. Aku iri, benci, sekaligus suka dengannya.
“Ida, bagaimana tadi tesnya? Sukses?” tegur Muthi dari belakang.
“Hmm..” aku hanya bergumam tak bersemangat manjawab Muthi.
“Kenapa? Semangat dong! Hasilnya saja belum keluar, masa patah semangat duluan sih?” Ujar Ifah memberi semangat. Aku hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum. ‘seandainya mereka tau kenapa aku bisa patah semangat seperti ini..’ pikirku.
UN sudah berlalu sejak 2 minggu yang lalu. Sekarang saatnya aku dan teman-temanku mencari tujuan kami selanjutnya. Kami akan mendaftar disekolah impian kami masing-masing. Aku pun begitu. Hari ini, aku mengikuti tes di SMUDAMA. Salah satu sekolah favorit di Sulawesi Selatan. Dengan lemas aku keluar dari ruangan tes. Bagaimana tidak, tadi kami diberikan waktu 2 jam untuk menjawab soal. Tapi 1 jam diantaranya aku justru tertidur di depan soal. Dengan perasaan campur aduk antara cemas dan pasrah, aku berjalan di koridor SMUDAMA . saat itulah, Muthi dan Ifah datang menegurku.
*****
Aku menatap putus asa Koran di depanku. Berapa kalipun aku mencari, nomor tesku tidak ada disana. Sudah dua hari berlalu sejak tes di SMUDAMA. Dan hari ini, pengumumannya keluar di koran. Padahal tadi pagi, Ayahku sangat bersemangat membeli Koran hanya untuk melihat hasil tesnya. Tapi kenyataanya aku justru tidak lulus. Orangtuaku pasti sedih dan kecewa kepadaku.
Rrrr… Rrrr…” tiba-tiba hpku bergetar, ada sms masuk. Aku membuka sms itu, ternyata dari Muthi.
“Bagaimana? Lulus tidak? Aku Alhamdulillah lulus”
           
Aku hanya tersenyum melihat sms Muthi, walau pun aku tidak lulus, paling tidak temanku ada yang lulus. Aku kemudian membalas sms Muthi dengan memberitahunya bahwa aku tidak lulus bersama ucapan selamat untuk kelulusannya. Dari sms Muthi, aku tau siapa saja yang lulus masuk di SMUDAMA. Ternyata Ifah juga tidak lulus. Kemudian aku terpaku di salah satu nama yang Muthi kirimkan. “Mario” Mario lulus! Aku bukannya kaget karena Mario lulus tesnya, tapi aku hanya takut kalau Mario memutuskan masuk ke SMUDAMA. Yang berarti, aku akan jarang ketemu dengannya lagi. Kemudian aku terpikir untuk datang ke sekolah. Aku ingin memberi selamat kepada temanku yang lulus, sekaligus mencari informasi apakah Mario memtuskan masuk di SMUDAMA atau tidak.
            Tepat pukul 11, aku sampai di sekolah. Sesampaiku di sekolah, ternyata teman-temanku yang lain juga banyak yang datang.
“Ida, aku dengar kamu nggak lulus? Tanya Qolbi tiba-tiba tepat saat aku masuk di gerbang sekolah.
“Iya” jawabku singkat.
“yeeee… yeee… Ida tidak lulus! Aku juga nggak lulus loh! Kita emang jodoh deh kayaknya!” kata Qolbi setengah berteriak. Qolbi salah satu teman dekatku di SMP. Dia orangnya cerewet banget. Walaupun terkadang emosian, tapi dia selalu menghadapi sesuatu dengan sisi positifnya. Mungkin karena itu persahabatanku dengan Qolbi bisa bertahan lama.
“hahaha.. dasar! Jadi, rencana mau lanjut dimana lagi nih?” tanyaku kembali bersemangat.
“hmm.. masih bingung. Mungkin Smansa. Kalau nggak lulus, yah Smunel. Kalau kamu?”
“yah.. terpaksa satu sekolah lagi deh..” jawabku bercanda. Kami kemudian melanjutkan obrolan kami di kantin. Sampai adzan dzuhur tiba. Aku dan Qolbi pun pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Di masjid, aku bertemu dengan Mario dan Dayat. Aku melirik Qolbi yang mulai tersenyum jahil di sampingku. Dia memang tau kalau aku menyukai Mario.
“Ida!! Teman SD! Bagaimana tesnya di SMUDAMA?” Tanya Dayat yang memang merupakan teman SDku.
“nggak lulus” kataku sambil menggeleng. Mendengar jawabanku, bukannya prihatin atau menghibur, Dayat justru mengejekku. Dasar Dayat. Dia memang selalu begitu sejak SD. Kemudian aku melirik ke Mario. “kalau kamu bagaimana? Lulus tidak?” Tanyaku tentu saja basa-basi. Orang aku udah tau kalau dia lulus.
“Alhamdulillah lulus” jawabnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk sambil mengatakan selamat. Qolbi yang melihat aku salah tingkah, langsung cekikikan.
            Setelah shalat, Qolbi langsung keluar dari masjid karena ada janji bertemu dengan temannya. Jadi aku sendiri turun dari masjid. Ketika di bawah, ternyata Mario sedang duduk memakai sepatu. Aku juga ikut mengambil sepatuku dan duduk di bangku seberang tempat Mario duduk.
“mana Dayat?” tanyaku.
“pergi ke kantin duluan. Katanya dia lapar banget” jawab Mario masih serius mamakai kaos kaki. Pembicaraan kami terhenti sampai disitu. Aku bingung mau bicara apa lagi.
“hmm.. kamu mau lanjut di SMUDAMA?” ini bukan pertanyaan basa-basi lagi. Aku serius ingin menanyakan itu. Mario mendongak melihatku sejenak, kemudian kembali menunduk melanjutkan memasang kaos kakinya..
“mungkin nggak.” Aku bersorak dalam hati mendengar jawaban Mario. “Aku sudah mendaftar di ICG. Institut Cendekia Gorontalo. Kalau aku lulus, aku kemungkinan besar kesana.” Rasanya aku tidak tau mau ngomong apa mendengar lanjutan jawaban Mario.
“kenapa?” tanyaku dengan nada tidak terima.
Mario sekali lagi berbalik ke arahku. Kali ini tanpa bepaling lagi. “karena itu cita-citaku sejak dulu. Awalnya, ketika orangtuaku menyuruhku bersekolah disana, aku menolak keras untuk itu. Karena aku berpikir untuk memilih sekolahku sendiri. Tapi setelah melihat secara langsung, aku justru kagum dengan sekolah itu. Aku ingin belajar lebih dalam disana” Mario terhenti, kemudian menyadari sesuatu. “eh, maaf, aku kebanyakan ngomong.”
“nggak apa-apa kok.” Kataku sambil tersenyum. Kali ini betul-betul tersenyum tulus. Bukan paksaan lagi. “aku juga ingin seperti kamu. Menemukan apa yang betul-betul aku mau dan sukai.” Mario juga tersenyum mendengar apa yang ku katakan.
“kalau begitu, jangan terburu-buru mencari apa yang kamu mau. Jalani dengan perlahan saja. Aku duluan yah..” Mario pun beranjak dari tempatnya. Dan berjalan menuju kantin.
*****
            Beberapa bulan kemudian, Mario ternyata diterima di ICG dan berangkat ke Gorontalo. Aku pun sudah menemukan sekolah baru, SMA Negeri 1 Makassar. Sedangkan Qolbi dan Dayat di SMA Negeri 5 Makassar. Kami semua sedang berjalan di jalan kami masing-masing. Tapi aku yakin, jalan yang kami tempuh sekarang merupakan jalan terbaik yang akan membimbing kami semua untuk menemukan apa yang sebenarnya kami inginkan.
            Mungkin aku dan Mario belum bisa bertemu lagi. Tapi, aku berharap, saat kita semua sukses dan aku sudah menemukan jalanku, aku bisa bertemu dengannya lagi. Karena aku masih yakin dengan takdir yang diberikan Allah. Makasih untuk Mario, sang motivator yang bisa membuat seorang Ida bisa seperti sekarang ini.

No comments:

Post a Comment