Sang
Motivator
Aku suka sama dia. Aku tau betul fakta itu. Aku tau
aku suka sama dia, kagum dengan kepintarannya, senang saat aku bisa sama-sama
dia, tersenyum nyaris seperti orang gila cuman karena dia duduk disampingku.
Cowok itu Mario Ahmad Fauzi, anak kelas sebelah yang pintar banget. Masuk 10
umum sewaktu kenaikan kelas dulu. Kenapa aku bisa suka sama dia? Sebenarnya itu
pertanyaan bodoh kalau melihat aku yang sewaktu kelas 8 masuk di organisasi
yang sama dengan dia, satu divisi pula, kalau melihat aku yang hanya untuk bisa
menyamainya rela belajar mati-matian di semester akhir SMPku.
Aku dan Mario
menekuni pelajaran yang sama, yaitu matematika. Kami beberapa kali harus
menjadi rival karena itu. Tapi sekeras apapun aku mencoba, aku tetap tidak bisa
menyamainya, tidak pernah sekalipun. Karena itu awalnya aku sangat iri
dengannya, aku benci ketika dia bisa lebih unggul dari ku. Tanpa aku sadari,
aku belajar dengan tekun karenanya. Ya, dia motivasiku sehingga aku bisa
seperti sekarang ini. Aku iri, benci, sekaligus suka dengannya.
“Ida,
bagaimana tadi tesnya? Sukses?” tegur Muthi dari belakang.
“Hmm..”
aku hanya bergumam tak bersemangat manjawab Muthi.
“Kenapa? Semangat dong! Hasilnya saja belum keluar,
masa patah semangat duluan sih?” Ujar Ifah memberi semangat. Aku hanya mengangguk
sambil berusaha tersenyum. ‘seandainya mereka tau kenapa aku bisa patah
semangat seperti ini..’ pikirku.
UN sudah berlalu
sejak 2 minggu yang lalu. Sekarang saatnya aku dan teman-temanku mencari tujuan
kami selanjutnya. Kami akan mendaftar disekolah impian kami masing-masing. Aku
pun begitu. Hari ini, aku mengikuti tes di SMUDAMA. Salah satu sekolah favorit
di Sulawesi Selatan. Dengan lemas aku keluar dari ruangan tes. Bagaimana tidak,
tadi kami diberikan waktu 2 jam untuk menjawab soal. Tapi 1 jam diantaranya aku
justru tertidur di depan soal. Dengan perasaan campur aduk antara cemas dan
pasrah, aku berjalan di koridor SMUDAMA . saat itulah, Muthi dan Ifah datang
menegurku.
*****
Aku menatap putus
asa Koran di depanku. Berapa kalipun aku mencari, nomor tesku tidak ada disana.
Sudah dua hari berlalu sejak tes di SMUDAMA. Dan hari ini, pengumumannya keluar
di koran. Padahal tadi pagi, Ayahku sangat bersemangat membeli Koran hanya
untuk melihat hasil tesnya. Tapi kenyataanya aku justru tidak lulus. Orangtuaku
pasti sedih dan kecewa kepadaku.
“Rrrr… Rrrr…”
tiba-tiba hpku bergetar, ada sms masuk. Aku membuka sms itu, ternyata dari
Muthi.
“Bagaimana?
Lulus tidak? Aku Alhamdulillah lulus”
Aku hanya tersenyum melihat sms Muthi, walau pun aku tidak lulus, paling tidak temanku ada yang lulus. Aku kemudian membalas sms Muthi dengan memberitahunya bahwa aku tidak lulus bersama ucapan selamat untuk kelulusannya. Dari sms Muthi, aku tau siapa saja yang lulus masuk di SMUDAMA. Ternyata Ifah juga tidak lulus. Kemudian aku terpaku di salah satu nama yang Muthi kirimkan. “Mario” Mario lulus! Aku bukannya kaget karena Mario lulus tesnya, tapi aku hanya takut kalau Mario memutuskan masuk ke SMUDAMA. Yang berarti, aku akan jarang ketemu dengannya lagi. Kemudian aku terpikir untuk datang ke sekolah. Aku ingin memberi selamat kepada temanku yang lulus, sekaligus mencari informasi apakah Mario memtuskan masuk di SMUDAMA atau tidak.
Tepat
pukul 11, aku sampai di sekolah. Sesampaiku di sekolah, ternyata teman-temanku
yang lain juga banyak yang datang.
“Ida,
aku dengar kamu nggak lulus? Tanya Qolbi tiba-tiba tepat saat aku masuk di
gerbang sekolah.
“Iya”
jawabku singkat.
“yeeee… yeee… Ida tidak lulus! Aku juga nggak lulus
loh! Kita emang jodoh deh kayaknya!” kata Qolbi setengah berteriak. Qolbi salah
satu teman dekatku di SMP. Dia orangnya cerewet banget. Walaupun terkadang
emosian, tapi dia selalu menghadapi sesuatu dengan sisi positifnya. Mungkin
karena itu persahabatanku dengan Qolbi bisa bertahan lama.
“hahaha..
dasar! Jadi, rencana mau lanjut dimana lagi nih?” tanyaku kembali bersemangat.
“hmm..
masih bingung. Mungkin Smansa. Kalau nggak lulus, yah Smunel. Kalau kamu?”
“yah.. terpaksa satu sekolah lagi deh..” jawabku
bercanda. Kami kemudian melanjutkan obrolan kami di kantin. Sampai adzan dzuhur
tiba. Aku dan Qolbi pun pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Di masjid, aku
bertemu dengan Mario dan Dayat. Aku melirik Qolbi yang mulai tersenyum jahil di
sampingku. Dia memang tau kalau aku menyukai Mario.
“Ida!!
Teman SD! Bagaimana tesnya di SMUDAMA?” Tanya Dayat yang memang merupakan teman
SDku.
“nggak lulus” kataku sambil menggeleng. Mendengar
jawabanku, bukannya prihatin atau menghibur, Dayat justru mengejekku. Dasar
Dayat. Dia memang selalu begitu sejak SD. Kemudian aku melirik ke Mario. “kalau
kamu bagaimana? Lulus tidak?” Tanyaku tentu saja basa-basi. Orang aku udah tau
kalau dia lulus.
“Alhamdulillah lulus” jawabnya sambil tersenyum. Aku
hanya mengangguk sambil mengatakan selamat. Qolbi yang melihat aku salah tingkah,
langsung cekikikan.
Setelah
shalat, Qolbi langsung keluar dari masjid karena ada janji bertemu dengan
temannya. Jadi aku sendiri turun dari masjid. Ketika di bawah, ternyata Mario
sedang duduk memakai sepatu. Aku juga ikut mengambil sepatuku dan duduk di bangku seberang tempat Mario duduk.
“mana
Dayat?” tanyaku.
“pergi ke kantin
duluan. Katanya dia lapar banget” jawab Mario masih serius mamakai kaos kaki.
Pembicaraan kami terhenti sampai disitu. Aku bingung mau bicara apa lagi.
“hmm.. kamu mau lanjut di SMUDAMA?” ini bukan
pertanyaan basa-basi lagi. Aku serius ingin menanyakan itu. Mario mendongak
melihatku sejenak, kemudian kembali menunduk melanjutkan memasang kaos kakinya..
“mungkin nggak.” Aku bersorak dalam hati mendengar
jawaban Mario. “Aku sudah mendaftar di ICG. Institut Cendekia Gorontalo.
Kalau aku lulus, aku kemungkinan besar kesana.” Rasanya aku tidak tau mau
ngomong apa mendengar lanjutan jawaban Mario.
“kenapa?” tanyaku dengan nada tidak terima.
Mario sekali lagi berbalik ke arahku. Kali ini tanpa bepaling lagi. “karena itu
cita-citaku sejak dulu. Awalnya, ketika orangtuaku menyuruhku bersekolah
disana, aku menolak keras untuk itu. Karena aku berpikir untuk memilih
sekolahku sendiri. Tapi setelah melihat secara langsung, aku justru kagum
dengan sekolah itu. Aku ingin belajar lebih dalam disana” Mario
terhenti, kemudian menyadari sesuatu. “eh, maaf, aku kebanyakan ngomong.”
“nggak apa-apa kok.” Kataku sambil tersenyum. Kali ini
betul-betul tersenyum tulus. Bukan paksaan lagi. “aku juga ingin seperti kamu.
Menemukan apa yang betul-betul aku mau dan sukai.” Mario juga tersenyum
mendengar apa yang ku katakan.
“kalau begitu, jangan terburu-buru mencari apa yang
kamu mau. Jalani dengan perlahan saja. Aku duluan yah..” Mario pun beranjak
dari tempatnya. Dan berjalan menuju kantin.
*****
Beberapa
bulan kemudian, Mario ternyata diterima di ICG dan berangkat ke Gorontalo. Aku
pun sudah menemukan sekolah baru, SMA Negeri 1 Makassar. Sedangkan Qolbi dan
Dayat di SMA Negeri 5 Makassar. Kami semua sedang berjalan di jalan kami masing-masing.
Tapi aku yakin, jalan yang kami tempuh sekarang merupakan jalan terbaik yang akan membimbing kami semua untuk menemukan apa yang sebenarnya kami
inginkan.
Mungkin
aku dan Mario belum bisa bertemu lagi. Tapi, aku berharap, saat kita semua
sukses dan aku sudah menemukan jalanku, aku bisa bertemu dengannya lagi. Karena
aku masih yakin dengan takdir yang diberikan Allah. Makasih untuk Mario, sang
motivator yang bisa membuat seorang Ida bisa seperti sekarang ini.
No comments:
Post a Comment